Gadis Pemetik Teh
19 January 2011
Genangan air masih tampak di sepanjang jalan, membentuk pulau-pulau air kecil, beberapa lubang besar menyulitkanku mengendarai motor. Udara bekas hujan masih terasa menembus jaket, nampaknya hujan tadi cukup deras, mendung-mendung masih meluas.
Kurang lebih satu jam perjalanan menuju kasomalang, bersama 2 orang temanku, Adang dan Wahyu. Setibanya di rumah yang dituju, Kang Ipa belum datang dari kantor, istrinya menyambut kami, mempersilahkan masuk. Isman sudah menunggu di dalam rumah, motor “si jago merah” punyanya diparkir depan rumah.
Tak begitu lama menunggu, si empunya rumah datang, kamipun larut mengulang kenangan. Sesekali tawa meliputi kehangatan kami.
Malam harinya kami melaksanakan pengajian, sengaja tokoh-tokoh masyarakat dan beberapa ustad di undang, Adang yang punya hajat, mendoakan Mamahnya yang sedang kerja di luar negri. Bacaaan-bacaan dan doa di mulai, kekhusyuan meliputi ruangan. Selepas pengajian kami terkapar berbalut selimut masing-masing.
Aku bangun lebih dulu, jalan-jalan menikmati udara pagi, kebun teh masih diliputi embun, udara pagi menyapa, aku menggigil, dingin. Barisan ibu-ibu memakai caping, berbaju lusuh dengan menggendong keranjang teh di punggung, aku memandangi mereka, mereka tersenyum, aku membalas dan menganggukan kepala.
Dibarisan belakang seorang gadis tersenyum belakangan, cantik, tapi seharusnya ia sekolah, aku taksir usianya 18an, seusia anak SMA. Ternyata bukan hanya didesaku, anak-anak putus sekolah yang harus membantu orangtua mereka. Matahari mulai beranjak, aku pulang, kali ini berharap sarapan sudah tersedia, aku lapar.
Menyoal anak putus sekolah, menjadi perbincangan hangat diantara kami, diskusi demi diskusi melahap waktu, beloum ngobrolin masalah organisasi, tak terasa hari sudah siang. Melelahkan memang, tapi kami semua senang.
Makan siang mengenyangkanku, aku ngantuk. Ternyata desa ini membuat aku merasa damai, beribu permasalahan di kota membuat aku penat, hilang seketika dengan pemandangan indah kebun teh, menghirup udara pagi dan,,, oh gadis tadi, ia melintas membayang, cantik, manis gadis desa. Mataku terpejam, aku terlelap.
***
Dari kejauhan aku memandanginya, Laras, tangannya gemulai memetik daun teh yang masih muda kemudian ia masukan kedalam kerinjang yang di gendongnya. Wajahnya terlihat redup, caping lebar melindunginya dari terik matahri. Ia tersenyum, melambaikan tangan, aku mendekat.
“sini” panggilnya genit.
Aku mempercepat langkahku, ia melepaskan caping dan keranjang, rambutnya terurai, melambat. Kemudian gadis itu berlari menjauhiku, tertawa-tawa, aku tersenyum, rupanya ia mengajakku lari kejar-kejaran di pematang kebun teh. Aku mengenalnya seminggu setelah tinggal didesa ini, dan aku jatuh cinta pada gadis pemetik teh itu.
Ia terhenti, aku memegang kedua tangannya, terdiam. Kupandangi wajah cantik Laras. Ia tersenyum, kemudian kucium lembut tangan laras. Ia tersipu.
“Pul..pul.. bangun, kita pulang sekarang” Adang menghentikan mimpiku, aku terperanjak, kaget. Ternyata hanya mimpi, aku sedikit menyesal dan mengumpat.
Setelah berkemas kamipun pamitan dan meninggalkan kasomalang, di perjalanan pulang. Aku masih memandangi kesejukan desa ini, kebun teh, udara sejuk dan, tiba-tiba. . .
“Tiiittt..tiiiit..” suara klakson motor mengagetkanku, seorang lakii-laki menyalip, ya ampun gadis dalam mimpiku dibonceng, tampak seoarng bayi dipangkuan nya.
Café-ka Bukan Sekedar Ngopi
15 January 2011
Sepertinya kata “aku” untuk menamakan diriku sebagai kata tunggal lebih narsiz dan ke kotaan, setelah melakukan kontemplasi yang sangat panjang dan rumit (didramatisir, hehe) aku akan menggantikan kata “aku” diblog ini menjadi saya, jadi aku akan memanggil dan menyebut keakuanku dengan kata saya, jadi kedepannya seperti ini. . .
Saya, dengan beberapa teman di Komunitas saya akan melakukan diskusi “pergerakan” di Café-ka, sebuah tempat yang bukan hanya sebagai tempat ngopi dan nongkrong akan tetapi lebih dari itu, Café-ka akan menjadi sumber inspirasi, sumber keluarnya ide-ide kritis para aktifis dari kalangan jurnalist, mahasiswa dan sebagian Eksekutif yang masih mempunyai nilai idealisme.
Jadi, jangan berpandangan kalau Café-ka merupakan tempat berkumpulnya para “mesumers”, akan tetapi Café-ka ini tempat orang-orang yang mempunyai waktu luang untuk memikirkan kemajuan bangsa, ce’ileeee. . . (narsis mania).
Kenapa diberi nama Café-ka? Sebenarnya bukan kewenangan saya untuk menjelaskan penamaan ini, karena pemilik Café-ka adalah Papih (Kaka Suminta), berarti beliaulah yang punya kewenangan untuk menjelaskannya, tetapi kalau boleh saya berteori –lebih tepat mengira-ngira- Café-ka ini merupakan sebuah singkatan yang kepanjangannya Café Kaka Suminta.
Sesampainya ke Café-ka, tepatnya di Ranggawulung, Subang, saya bersama kawan-kawan bukannya melakukan diskusi malah segera melakukan manuver dengan menggelar nasi Timbel, hehehe,
MANUVER. Rumah Tinta segera menggelar Nasi Timbel di Cafe-ka
Dalam prakteknya, kita berdiskusi mengenang Malari (Malapetaka Lima belas Januari) yang terjadi pada tahun 1974 merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14–17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Dan selanjutnya, dari diskusi Malari itu kemudian ditarik substansi pergerakan ke wilayah ke daerahan, Subang.
Diskusi tersebut dihadiri oleh tiga elemen aktifis, Mahasiswa, Blogger, dan Jurnalist, sedangkan yang me-wakwak menjadi pengantar dialog adalah mang Anas (dari Blogger), kang Boing (aktifis senior), dan Papih (Ketua KPUD Subang, yang juga aktifis tulen).
Epul Dimana? Kali ini saya menjadi tukang photo
Diskusipun berjalan, . . (tang…tung…teng… tang…tung…teng…)
Dan Pada akhirnya, saya dapat mengambil kesimpulan dari pertemuan di Café-ka, perlu adanya revitalisasi ruh pergerakan, sehingga kita bukan saja dapat menyatukan suara pergerakan akan tetapi kita perlu melakukan penetrasi penjelasan pentingnya sebuah pergerakan terhadap mahasiswa untuk membangun sebuah bangsa yang adil, makmur dan sejahtera, tentunya mensejahterakan rakyatnya.
Dan pada kenyataannya, Ruh pergerakan tersebut sudah tergerus oleh hedonisme mahasiswa, mahasiswa lebih mementingkan kepentingan pribadi, kesenangan, hura-hura dan kegiatan yang sedikitpun tidak ada kontribusinya terhadap kemajuan bangsa.
Diskusipun berakhir, kembali dengan rasa penasaran saya dan rasa ingin tau, maka saya bersepakat dengan kawan-kawan yang lain untuk melakukan diskusi lanjutan, dan kembali akhirnya kami pulang dengan banyak PR, diantaranya adalah menyatukan isyu dalam pergerakan bersama mahasiswa lintas organisasi, selain itu, kami juga membawa oleh-oleh agar lebih mendalam mengkaji Pemekaran Subang. (*)
Cowok Ko’ Nangis?
9 January 2011
Beberapa hari ini aku disibukkan dengan pembuatan majalah, hingga rutinitas menulis, dan jaga warung ku terhambat, aku lupa mengisi blog ku yang baru, padahal aku sudah melakukan MoU dengan Blog ku, jika aku melanggar dengan tidak menulis, maka hukuman bagiku adalah membaca satu buku dan menulis di Blog tersebut, berupa artikel, cerita dan sebuah Puisi, bukan kah itu sebuah hukuman yang setimpal bagi yang tidak menulis?
Padahal seharusnya aku diberi keringanan setidaknya aku sudah menulis dan dan mengisi Kompasiana dengan beberapa tulisan, meskipun hanya berupa tulisan pendek, aku hanya berharap dari tulisan-tulisan tersebut terbangun keinginan menulis yang lebih banyak lagi.
Owh ya, akan aku ceritakan bagaimana sebenarnya rasa melelahkan itu, Kemarin tepatnya hari Kamis dan Jum’at, ada beberapa tugas berat yang harus aku kerjakan, aku harus menyelesaikan proses akhir majalah PT. Sang Hyang Seri.
Di deadline yang sebenarnya sudah terlambat itu aku harus segera mungkin merampungkannya, sedangkan alat cetak yang dipunyai rusak, dan secepatnya aku harus mengadakan alat cetak, tanpa banyak perhitungan aku membeli alat cetak baru berharap akan segera dapat menyesuaikan dengan pekerjaan, akan tetapi alat yang baru itu lambat dalam penyesuaian, selain sering macet karena baru, ditambah dengan proses pencetakan yang cukup lilo (lila loding), aku harus menyelesaikannya dalam waktu 2 hari yang biasanya bisa diselesesaikan dalam waktu satu malam, sungguh-sungguh memprihatinkan.
Ditengah-tengah kesibukanku, lagi-lagi aku dikagetin dengan sms dari Nisa (masih inget? pacarku yang manis itu). Tiba-tiba saja doi minta putus, ya ampun, apa yang sebenarnya terjadi? Aku bingung, resah dan gelisah, kemudian ia nelpon.
Annisa Nur Hasanah, Sekilas mirip sama artis papan atas yang kena kasus (Luna maya), tetapi aku lebih setuju mirip Gita Gutawa
“yank, maavin Nis, sepertinya hubungan kita harus diakhiri,” terisak.
Kalo ibarat, rujak mungkin inilah rujak terbusuk yang aku rasakan, mangga busuk, jambu busuk, sambal busuk bersatu padu yang terpaksa aku telan. Bingung, aneh, galau, resah dan gelisah bersatu padu.
“Kenapa yank?,” tanyaku heran.
“A terlalu baik wat Nisa, truss,” suaranya terhenti.
“Trus kenapa?,”
“???,”
“yank,” tanyaku lagi.
Nisa terdiam lama (gak nyampe se-abat sikh).
“NISA UDAH GAK SAYANG LAGI MA A,”
Kata-katanya yang terakhir membuat aku terdiam, darah sepertinya berhenti mengalir, jantung berhenti berdegup, napas berhenti berhembus, tapi perut ternyata masih kakurubuk (laperrr) hehe..
Jujur aku nangis, aku ga’ percaya dengan semua yang terjadi, aku ga’ mau harus terulang lagi kegagalan, aku sudah mengalami kegagalan yang pertama, kenapa harus terulang kembali??.
Pintu kamar aku kunci, aku tersungkur, terisak dengan beribu rasa penarasanku.
Sekitar 5 menit aku menangis, kemudian bangkit, beranjak kekamar mandi dan segera menyegarkan badan dengan guyuran air juga dengan terisak. Sekalian, aku memang belum mandi dua hari terakhir ini.
Selesai mandi, aku lihat hapeku mempunyai 5 panggilan tak terjawab dari Nisa. Satu pesan singkat.
“Yank, angkat dong, aku mau ngomong, penting,”
Segera aku bales,
“Maaf, a baru beres mandi,”
tulit,tulit,,
segera ku angkat.
“Assalamualaikum, apa lagi?,” tanyaku.
“Horee, ayank kena tipu, haha, nangis yah,” lagi-lagi aku kaget.
“Haha, masa cowok nangis,”
ah, sialan, Nisa ngerjain aku, dasar, aku tersenyum,.. Hahaha aku terbahak.
“Biarin, emang cowok ga boleh nangis,” jawabku
“Dasar, awas yah,” ancamku, sebenarnya aku bahagia. dan merasa bangga mempunyai pacar dia, selain memang manis, baik, pengertian dan juga aku memang berharap besar pada dirinya, saat ini dia memang benar-benar menjadi kebanggaanku, aku berharap ia menjadi istriku kelak. (kapan yah).